Breaking News
Loading...
Minggu, 31 Maret 2013

Info Post


SELEPAS waktu magrib, dengan masih bersarung aku bergabung dengan dua orang tetangga dekatku. Satunya duduk di kursi panjang dari papan dan satunya ndodok (duduk jongkok). Keduanya terlihat asyik dalam satu pembicaraan.

“Waduh, kang. Sing tak enteni durung teko. Jarno, nek teko engko tak porote,” tiba-tiba saja seorang di antara dua tetanggaku tadi yang bernama Purwanto nyeletuk, sesaat setelah aku ikut cangkrukan di depan rumahnya.

Woo, ternyata mereka lagi ngomongin masalah politik tho, yang sekarang memang lagi ‘panas-panasnya’. Obrolan politik itu dia buka dengan topik porot-memorot. Dan yang dia jadikan sasaran, tentu saja seorang politisi yang macung wakil rakyat.

Sang calon anggota legislatif (caleg) tersebut, kata Mas Pur (sapaan akrabnya), sudah janji ke rumahnya. Caleg tadi, bersama Mas Pur, akan membuat kesepakatan. Kalau Mas Pur bisa mengoordinasi tetangga sekampungnya atau kenalan lainnya untuk ‘mau’ memilih sang caleg tadi, akan diberi imbalan uang

Aku sedikit penasaran dengan ucapan tetanggaku ini. Sebab, selama hampir 13 tahun bertetangga, dia hampir tidak terlihat bersinggungan dengan masalah politik praktis. Paling-paling hanya menjadi pengamat politik kelas kampung, ketika menyikapi satu peristiwa politik di negarane dewe ini.

Satu batang mild kuambil dari pack-nya, lalu kuisap pelan-pelan setelah kubakar ujungnya dengan pemantik milik tetanggaku satunya, bernama Budi. Saat itu terbayang, kalau calon anggota legisaltif (caleg) yang akan diporoti (diupayakan uangnya keluar banyak), dari partai gede.

“Sopo tho Mas Pur, calon yang sampeyan tunggu,” tanyaku, sambil mengisap lagi rokok ramping yang kubeli saat bepergian ke Jember sehari sebelumnya.

Eh, ternyata caleg yang dia tunggu itu bukan caleg parpol yang punya nama, semacam Golkar, PKS, PDIP, Demokrat, Gerindra, PAN atau PKB. Tapi seorang caleg salah satu partai ‘penggembira’ dalam Pemilu 2009. Saya sebut penggembira, karena parpol tersebut sangat mungkin tereliminasi, tak bisa ikut Pemilu 2014 mendatang karena perolehan kursi DPR-nya sulit mencapai 2,5 persen.

Tapi, bukan faktor itu yang membuat Mas Pur sangat menunggu datangnya caleg tadi. Iming-iming uang itulah yang terpenting baginya. Sehingga sampai-sampai Mas Pur hampir tiap malam cangkrukan di depan rumahnya bersama-sama beberapa warga satu kampung, yang nantinya bakal ‘direkrut’ menjadi pendukung caleg tadi.

***

HAMPIR 64 tahun kita hidup di alam demokrasi, dan sudah sebelas tahun benar-benar bisa menghirup oksigen demokrasi (pasca reformasi) yang lebih segar. Seharusnya, pemimpin dan rakyat republik ini sudah matang dalam politik. Artinya, semua elemen harusnya sudah bisa melakoni hak dan kewajiban politiknya sesuai tatanan demokrasi yang sebenarnya.

Tapi realitas di lapangan, suara rakyat dijual kelewat murah, meski banyak yang mengatakan suara rakyat itu mahal. Karena, untuk bisa menang pemilihan, seorang caleg atau kandidat kepala daerah harus mengeluarkan sekian ratus juta atau sekian miliar rupiah untuk membeli suara rakyat.

Meski per kepala dihargai Rp 100.000 (angka ini cukup tinggi nilainya bagi kebanyakan masyarakat kita), itu sangat murah. Sebab, kebahagiaan seseorang yang menerima pemberian uang itu paling lama hanya 2-3 hari, seiring dengan habisnya uang tersebut.

Lima tahun berikutnya? Pengalaman selama ini, keadaan rakyat tidak berubah. Kalau pun ada petinggi yang mengklaim harga ini-itu turun, angka kemiskinan turun, kesejahteraan meningkat dan bla-bla lainnya, masih sebatas klaim yang realitanya jungkir balik di lapangan.

Demikian juga, bagi pendamba kekuasaan, baik di eksekutif maupun legislatif, sadar betul untuk menyiapkan anggaran untuk membeli suara rakyat. Upaya money politics ini memang menjadi salah satu cara menduduki kekuasaan, selain cara-cara lain yang sarat kecurangan.

Kembali ke cangkrukan, bagi Mas Pur, tidak penting latar belakang parpol caleg yang akan datang ke rumahnya. Sekarang, katanya, siapa saja yang memberi uang, itu yang akan dia pilih. “Yo iki bahasane rakyat. Timbang bingung-bingung. Wong sekarang ini proses pemilunya saja membuat bingung rakyat. Kalau kebetulan caleg ini jadi anggota dewan dan kemudian sama sekali tidak memperhatikan kita, itu nggak masalah. Sebab selama ini keadaannya juga seperti itu (seorang anggota dewan tidak pernah turun ke bawah),” ucapnya.

Dan, `bahasa rakyat` inilah yang ditangkap kandidat berduit yang entah duitnya darimana. Dengan modal duitnya itu, dia bisa menghitam-putihkan demokrasi di negara ini.

Sesaat aku mencoba membayangkan, apa masih ada caleg yang berusaha menarik simpati masyarakat tanpa pemberian uang. Ternyata ada, meski masih ngotot menjadi anggota dewan yang terhormat. Nah, seperti yang saya kenal, caleg yang menghindari jual beli suara ini ada yang karena benar-benar ‘kere’, atau caleg yang modalnya pas-pasan, atau caleg yang memang benar-benar berusaha menjadi anggota legislatif sambil berupaya memberi pendidikan politik yang benar di masyarakat.

Caleg yang demikian, kalau berhubungan dengan seseorang seperti Mas Pur, atau kebanyakan rakyat kita yang berpikiran pragmatis, tentu tertutup jalannya menjadi wakil rakyat. Dia tentu kalah berebut suara terbanyak dengan caleg yang sudah menyiapkan dana besar. Apalagi, Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan, pemenang pemilu legislatif (pileg) ditentukan dengan suara terbanyak (atau bisa dikatakan, pemenang pileg ditentukan dengan modal terbanyak).

Memprihatinkan memang, kalau sikap ini terpelihara dalam perjalanan demokrasi di negeri kita. Lalu, kapan rakyat memilih sesuai hati nurani? (pri)
Next
This is the most recent post.
Posting Lama

0 komentar:

Posting Komentar